Siang itu sahabatku menelepon memintaku untuk menemuinya.
Kami memang lebih dekat akhir-akhir ini, untuk saling menguatkan. Ya,
persahabatan kami ternyata bermuara pada satu titik, sama-sama ditinggal wafat
suami.
Tak seperti aku yang kini lebih memilih tinggal bersama
keluarga besar. Hidup baginya tak memberikan pilihan. Rasanya saat itu tak
mungkin untuknya kembali bersama orang
tua karena tak sepaham dalam masalah pendidikan anak. Ayahnya masih gemar
berjudi dan mabuk-mabukan.
Jika aku terbiasa membantu suami dalam memenuhi kebutuhan
perekonomian keluarga. Sahabatku ini adalah seorang Ibu Rumah Tangga tulen.
Apalagi kondisi suami yang sangat memanjakannya semasa masih hidup membuatnya
sangat gamang dengan statusnya kini.
“Aku gak terbiasa
tahu urusan keuangan suami,” begitu dia mengawali curhatnya pagi itu. “Aku baru
tahu betapa beratnya beban yang dipikul suamiku dulu, aku hanya bisanya meminta
uang saja,” lanjutnya lagi. “Rasanya tak ada yang bisa menggantikan sosoknya
dalam kehidupanku,” sahabatku menegaskan.
***
Sahabatku menikah muda, usai 20 tahun tepatnya. Saat itu ia
menikah adalah pilihannya untuk bisa bebas dari konsidi keluarganya yang sangat
tak kondusif. Ayahnya gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Ia dibesarkan di rumah
Nenek, sempat merasa tak disayang orang tua. Hingga hampir terjerembab ke lembah
hitam kehidupan. Saat ditinggal wafat suami, usianya baru 32 tahun.
Beruntunglah saat usianya menjelang 20 tahun, seorang lelaki
sholeh dan bertanggung jawab datang melamarnya. Tanpa prosesi pacaran
sebagaimana khalayak umum lakukan, dua minggu setelah saling mengenal, mereka
melanjutkan ke jenjang pernikahan.
***
“Aku ingin hidup lebih baik lagi, selepas kepergian suamiku,
aku berusaha menjadi lebih baik,”lanjutnya di suatu sore saat kami kembali
bertemu.
“Tapi mengapa sekarang banyak istri kawan suamiku
menjauhiku?,” ujarnya sedih.
“Aku tak akan merebut suami mereka, luka hatiku ditinggal
wafat suami belumlah sembuh, aku tak seburuk yang mereka pikirkan,”lanjutnya
sembari terisak.
Perawakannya yang semampai dengan wajah yang rupawan tentunya
banyak menarik perhatian kaum adam. Apalagi kini saat dirinya mulai
beraktivitas mencari nafkah, penampilannya tampak jauh lebih muda dan cantik.
Mungkin hal ini yang dikhawatirkan para wanita istri dari kawan Alm suaminya. Mereka
takut para suami terpikat padanya.
“Kamu memang kelihatan lebih cantik dan segar ,” ujarku. “Pantas
saja banyak yang takut suaminya terebut perhatiannya oleh kecantikanmu,”
lanjutku kemudian.
“Masa ada yang BBM aku dengan kata-kata tak senonoh,” ucapnya.
“Innalillahi..,”,jawabku.
Tubuhnya yang terbalut hijab tak dapat menyembunyikan
kecantikannya, karenanya aku mewanti-wantinya untuk memilih pekerjaan yang
tidak menimbulkan fitnah dan mengingatkannya untuk lebih pandai menjaga diri.
“Urusan utamamu menjaga dan mendidik anak-anak,” nasihatku.
“Jika memilih bekerja, pilihlah pekerjaan yang tidak
membuatmu terlalu banyak berinteraksi dengan lawan jenis, kamu memang cantik, jaga
pergaulan agar terhindar dari fitnah,”nasehatku.
Usia kami memang terpaut jauh, hingga seringkali pada tiap
kesempatan sahabatku ini memintaku untuk menasihatinya.
“Please, jangan lecehkan aku…”ujarnya sambil terisak.
Duh, betapa jika boleh memilih ingin rasanya kami tak ada di
posisi ini. Menjadi single moms yang
harus membesarkan anak-anak yang masih kecil-kecil. Kami sering tak habis pikir
dengan pandangan sinis atas status kami kini. Luka batin kami belumlah sembuh,
tak mudah bagi kami kaum wanita untuk memilih menikah lagi. Buat kami tugas
utama adalah membesarkan anak-anak titipan Alloh SWT untuk menjadi anak sholeh.
Namun kami juga manusia, ada banyak hal yang tak mungkin kami
lakukan sendiri. Kami perlu dibantu, bukan semata dalam hal ekonomi. Kami butuh
dikuatkan. Jangan jauhi kami.
Sahabat, do’aku selalu
untukmu.. kita dipilihNya karena kita mampu. Alloh SWT selalu bersama kita.
Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong kita.Pelukku untukmu. Jaga dirimu
baik-baik ya…