Beberapa hari terakhir ini,
stasiun televisi diramaikan dengan persidangan langsung dari Mahkamah
Konstitusi. Saya yang beberapa hari terakhir ini lebih sering berada di rumah,
seringkali tanpa sengaja mendapati berita-berita seputar jalannya persidangan
di MK.Dikatakan tanpa sengaja menonton, karena terus terang, saya bukanlah pemilih
fanatik salah satu capres.
Seperti biasa, masing-masing
stasiun televisi yang sudah tidak lagi netral, membahas jalannya persidangan
dengan sudut pandang kubu masing-masing. Jika sebagian masyarakat pemilih
menyatakan siapapun yang memilih tidak berdampak langsung pada nasib dirinya.
Saya berpendapat lain, sosok Presiden terpilih tentu diharapkan membawa angin
perubahan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Berita terakhir yang menarik perhatian saya
adalah perbedaan pendapat antara 2 saksi yang dihadirkan dalam persidangan.
Saksi sebelumnya menyatakan bahwa tidak pernah ada pemilu di kampungnya, namun
laporan menunjukkan kemenangan telak atas salah satu capres. Saksi lain yang
didatangkan hari berikutnya menyatakan sebaliknya.Saya selaku penonton
dibuat bingung. Siapa yang berbohong?
Teringat nasihat Ibu sewaktu saya
kecil agar menunjung kejujuran,seperti angin lalu di masa kini. Sebuah
kebohongan menjadi legal untuk mencapai tujuan. Justru sebaliknya, jujur seakan
menjadi pilihan yang asing. Manusia telah diperbidak nafsu.
Teringat nasihat Ibu sewaktu saya
kecil agar tidak berbohong. Saya kerap
takut sendiri membayang efek berbohong. Hidung kita akan panjang seperti Pinokio.
Kita sulit mendapat kepercayaan dari orang lain. Tuhan pun membenci kita,
karena berbohong.
Teringat nasihat Ibu sewaktu saya
kecil agar senantiasa takut akan Tuhan
karena Dia tak bisa dibohongi. Sang Maha Sempurna, pasti tahu siapa yang
berdusta.
Jika sudah repot seperti ini,
bohong seakan menjadi halal, saya teringat pada boneka kecil dari kayu.Pinokio yang
lucu, bisakah kau tunjukkan siapa gerangan yang akan senasib denganmu?
Berhidung panjang agar jera berbohong.
0 komentar:
Post a Comment