Anak Bawang


"Ummi...aku disebut anak bawang di sekolah tadi,"isak sulungku setibanya di rumah. Hari ini tepat seminggu ia bersekolah, masuk kelas satu sekolah dasar di saat usianya baru 5,4 tahun.
"Anak bawang itu artinya anak yang paling kecil, abang itu paling muda usianya di kelas,"aku menjelaskan.

Keputusan memasukkannya ke SD cukup mendadak, suamiku memandang abang Faqih, anak sulung kami butuh tantangan baru. Ia sering nampak acuh dengan kegiatan belajar di TK. Jadilah dalam kurun waktu sebulan terakhir, sebelum masuk SD, aku mendadak mengajarnya menulis dan membaca.

Hari pertama saat mengantarnya, kulihat ia nampak kebingungan saat sang guru memintanya menuliskan angka nol. Abang belum bisa menulis di atas kertas bergaris, bisa dipastikan hasilnya berantakan. Keputusan yang mendadak membuatnya harus beradaptasi banyak.

Kondisiku tak memungkinkan untuk terus mengantarnya setiap hari, berangkat dan menjempuntnya sepulang sekolah. Beruntung jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, cukup ditempuh dengan rentang waktu lima belas menit saja.

Jalan menuju sekolah dapat dilalui dengan jalan setapak, melintasi sungai kecil dan komplek perumahan sebelah kami, cukup aman dilalui anak seusia Abang, lagipula banyak tetangga menyekolahkan anaknya di sekolah yang sama. Alhamdulillah

Guru Galak

Wali kelas satu SD saat itu dikenal sebagai seorang guru yang tegas dan terkesan galak. Setiap kali mengajarkan membaca dan menulis, tangannya tak lepas memegang penggaris panjang dan sesekali memukulkannya ke atas meja.

"Brak...brak," aku yang saat itu berdiri di luar kelas ciut mendengarnya.Tak heran jika kemudian banyak anak yang pindah kelas karena ketakutan.

"Abang gak takut sama Bu guru?'' tanyaku

"Enggak, abang masih lebih takut sama Abi,'' mimiknya penuh kepolosan, khas anak-anak saat menyampaikan kalimat itu.

Abi, demikian ia memanggil ayahnya, terkenal tegas, terkesan galak di mata aku dan anak-anak. Abi  sosok yang sedikit bercanda, banyak bicara hal-hal terkait kedisiplinan dan keteraturan. Kadang aku sendiri merasa tak nyaman dengan gayanya mendidik kami. Aku tak menyangka suamiku akan setegas itu setelah menjadi ayah. Mungkin hal itu muncul sebagai bentuk tanggugjawabnya sebagai kepala keluarga yang bertugas mendidik istri dan anak-anaknya.

"Jadi abang enggak akan pindah ke kelas sebelah seperti teman-teman lain?'" tanyaku penuh selidik.

"Lebih galak  Abi daripada ibu guru loh Mi,"jelasnya.

 Rupanya abang sudah terbiasa dengan pola didik seperti itu.


Tas Gede

Tubuh abang yang mungil dengan tas punggung berukuran lebih besar dari badannya kerap membuatnya menjadi bahan olok-olok. "Hai tas gede'' beberapa orang sering menggoda dan menyapanya dengan sebutan itu.

Sekali dua kali dipanggil sengan sebutan tas gede, anakku tak menganggapnya masalah. Lama kelamaan, abang merasa tidak nyaman, ia kerap menangis dan menyatakan tidak suka dengan perkataan itu.

Dengan santai aku menjelaskan agar Abang tidak perlu mendengarkan olok-olok itu, dan pada kenyataannya tas yang ia gunakan memang lebih besar dari tubuhnya.

"Gak usah didengarkan,"pintaku

"Tapi tadi abang kesel, jadi abang jawab saja, "Apa ibu genduuut?"

Aku kaget mendengar penjelasan anakku, beraninya ia menjawab seperti itu. Tetapi pantaslah ia bicara seperti itu karena rupanya yang sering mengoloknya adalah seorang ibu berperawakan tambun yang merupakan seorang guru. Tak elok rasanya jika seorang guru gemar mengolok.

Sesekali kita memang perlu unjuk gigi agar tidak melulu jadi korban bully. Selepas abang menjawab ledekan sang Ibu berperawakan tambun itu tidak pernah mem-bully lagi

Dipaksa Mandiri


Saat abang memasuki sekolah dasar, ia sudah mempunyai dua orang adik. AA Sayid, panggilan untuk anak kedua kami, baru berusia empatt tahun dan anak ke tiga kami baru berusia setahun. Memiliki dua orang adik yang masih kecil membuatku hanya mampu mengantarnya seminggu saja. Selebihnya ia pulang dan pergi ke sekolah tanpa diantar olehku.

Abang memang dipaksa mandiri oleh keadaan. Aku yang saat itu mengurus tiga anak tanpa ART merasa kewalahan jika harus sibuk pulang pergi mengantarnya ke sekolah. Bersyukur anakku sosok pemberani dan kondisi saat itu cukup aman, tidak banyak beredar berita penculikan seperti sekarang.

Selain belajar berangkat dan pulang sekolah sendiri, anakku juga mulai dilibatkan untuk membantuku. Abang terbiasa membawa catatan dan berbelanja sayuran di warung yang jaraknya sekitar seratus meter dari rumah. Demikian pula adiknya yang saat itu duduk di TK A mulai biasa membantuku.

Alhamdulillah keduanya sangat sayang pada anak  nomor tiga yang saat itu baru berusisa satu tahun. Mereka kerap bermain bersama. Pertengkaran kecil, rebutan mainan membuat riuh suasana rumah. Terkadang tangisan ikut mewarnai, drama rumah tangga dengan anak-anak kecil di dalamnya, memang begitu adanya. Akan indah untuk dikenang nanti saat mereka dewasa.

Bicara masalah kemandirian, karena abang tidak pernah kami antar jemput ke sekolah sejak kelas satu SD, ia protes saat satu kali aku membuntutinya ketika berangkat ke sekolah."Ummi, abang gak mau diantar, bisa sendiri koq."

Pernah satu saat Abang kami lepas ikut les bahasa Inggris yang lokasinya jauh dari rumah, dan kami tinggalkan sementara waktu untuk kami jemput kembali. Ternyata saat kami kembali datang untuk menjemput, Abang sudah tidak ada di tempat. Kami kaget karena di sana belum ada orang yang dikenalnya. Rupanya Abang ikut seseorang yang pulang menuju kantor Abi. Mas syaa Allah kami tak menyangka ia seberani itu.


Abang si anak bawang, anak karbitan yang mendadak masuk sekolah dasar di saat usia baru 5 tahun lebih. Abang yang harus pulang pergi ke sekolah sendiri, ternyata memberi kejutan saat lulus SD dengan nilai Ujian Nasional memuaskan yakni menduduki peringkat ke-3 di sekolah.

Hal itu mengejutkan banyak pihak, mengingat Abang masuk SD di usia sangat muda, tertatih saat awal masuk sekolah, serta sering mengalami perlakuan bullying bisa tamat sekolah dengan hasil membanggakan kami orang tuanya.

Alhamdulillah. Semoga dengan membaca kisah ini kita jadi memahami bahwa sebuah kesuksesan itu diperoleh dari jalan yang penuh terjal dan ujian. Sebagai orang tua sejak dini harus membiasakan memberikan anak kepercayaan tentu dengan memantau semua berjalan sesuai aturan.

Terima kasih abang sudah menjadi anak kebanggaan abi, kebanggan ummi, kebanggaan keluarga. Terima kasih telah menjadi anak yang berani dan membantu orangtua. Abang adalah anak pertama jejak langkah akan ditiru oleh adik-adik.

Teruslah melangkah dengan memberikan contoh hal-hal yang baik. Meski di awal terasa tak mudah, percayalah semua akan indah pada waktunya. In syaa Allah




























7 comments:

  1. Barokallahu Faqih..

    ReplyDelete
  2. Cerita true story ya um...

    Anak saya juga pas masuk sekolah sd belom bisa baca tulis um.. cuma bisa kenal angka... tapi ternyata umur 7 tahun memang pas otaknya menerima banyak ilmu.. alhmd semua lancar..

    ReplyDelete
  3. Keren abang dan ummi-nya

    ReplyDelete
  4. Almarhum ibu saya pernah berpesan, tak apa mendidik anak dg keras, insyaallah dunia akan lunak terhadapnya. Namun jika mendidik anak dg lunak (terlalu memanjakan), maka jangan heran jika kelak dunia akan keras terhadapnya.

    ReplyDelete
  5. Mendidik dengan keras itu seperti apakah? Apakah dengan banyak aturan? Apa bedanya keras dan tegas?

    ReplyDelete
  6. Menarik mbak ceritanya

    ReplyDelete
  7. Anak saya juga yg termasuk mendadak masuk sekolah Ummi,tapi Karena dianya yg minta. Padahal sayanya maunya masukin langsung TK besar, akhirnya dari playgrup deh

    ReplyDelete