“Bayi
dalam kandungan Ibu kurang gizi. Perhatikan asupan makanannya, ya.” Pernyataan
dokter wanita berperawakan sedang itu membuatku terhenyak. Kurang gizi? Jabang
bayi yang sebentar lagi akan kulahirkan ini maal nutrisi? Aku mulai
gelisah.
Sebelum
bertemu dengan dokter tersebut, kontol kehamilan biasa dilakukan di Puskesmas
dekat rumah. Selama 8 bulan melakukan kontrol secara rutin, tak ada masalah menyangkut berat badan jabang bayi dalam kandunganku. Perasaan khawatir mulai muncul dan menjadikanku berniat memberikan asupan nutrisi dua kali lipat lebih besar jumlahnya, agar bayi lahir sehat dan sempurna.
Jelang
dua minggu sebelum hari perkiraan melahirkan, aku melakukan kontrol di sebuah
rumah sakit swasta di kota Bandung.
Tujuan berpindah tempat kontrol adalah guna melakukan USG. Namun pernyataan
dokter tentang kondisi jabang bayi yang memiliki BB hanya 2.2 kg membuatku
menjadi was-was.
“Dara
itu susah melahitkan, karena belum ada pengalaman. Jadi, lebih baik bayi besar di luar, dari pada besar saat di dalam kandungan.” Ibu mengingatkanku yang mulai makan dalam
jumlah banyak. Tak terkontrol. Hingga waktu periksa pun tiba, berat bayiku
melonjak menjadi 3,6 kg. Jauh dari BB sebelumnya. Aku bahagia bercampur khawatir
tidak bisa melahirkan dengan lancar karena bobot bayiku naik di luar perkiraan.
***
Aku
adalah sulung dari tiga bersaudara. Ukuran tubuhku lebih kecil dibanding dua
adikku, Padahal dari cerita Ibu, aku lahir dengan BB 4 kg. Nampak seperti bayi
raksasa. Kisah sulitnya ibu saat melahirkanku membuat waspada dan berharap kejadian
padanya tak berulang pada diriku. Beliau selalu mewanti-wantiku untuk benar-benar
menjaga jumlah asupan makanan. “Makan pakai piring kecil, supaya porsi makanmu terjaga,” pinta Ibu padaku.
Aku
menurutinya, setiap makan selalu menggunakan piring kecil. Aku pun rajin
menaonsumsi sayur dan buah, ingin bayiku lancar saat proses persalinan.
Namun jelang hari perkiraan lahir, bukan perasaan bahagia yang muncul justru
khawatir berlebih yang kurasa.
Khawatir
aku mengalami hal yang sama dengan yang Ibuku alami. Maafkan aku Ibu,
batinku. Ternyata puncak terhebat yang kualami sebagai seorang ibu adalah
masa-masa menjelang kelahiran. Pertarungan antara hidup dan mati.
Aku
pun merasakan itu, perasaan ajal sudah di depan mata itu kian terasa. Aku
sangat takut. Benar-benar takut. Pikiranku terus tertuju pada sebuah pertanyaan
: akankan jabang bayi berbobot 3.6 kg ini bisa lancar melewati jalan lahir? akankah….ah entahlah ….
***
Pagi
ini kuputuskan untuk mulai melakukan ritual jalan pagi bersama suami. Jalan
pagi sumgguh nmembiat badan menjadi lebih fresh. Kami betjalan
mengelilingi komplek perumahan tempat tinggal Ibuku. Jelang kelahiran,, aku “mengungsi”
ke rumah Ibu guna mendekati RS tempat aku akan melahirkan.
Ritual
jalan pagi selain menambah sehat juga dipercaya merangsang bayi makin turun
posisinya mendekati jalan lahir. Dengan demikian, proses jalan kaki diyakini
sebagai upaya untuk memperlancar proses kelahiran.
Tibalah
aku pada tanggal di mana sang bayi lahir ke dunia. Ajaibnya aku belum menemukan
tanda-tanda akan melahirkan berupa mulas di perutku. Aku merasa ada yang tak
beres dengan kehamilanku. Aku berpikir sang bayi terlalu besar hingga posisinya
jauh dari jalan lahir. Aku panik dan cemas luar biasa.
Lewat
seminggu dari tanggal perkiraan lahir, bayiku belum juga memberikan tanda bahwa dirinya
akan lahir ke dunia. Kuputuskan berangkat ke RS membawa semua perlengkapan melahirkan.
“Sakit apa Bu?” tanya bagian pendaftaran.
“Sakit apa Bu?” tanya bagian pendaftaran.
“Saya
tidak sakit, hanya mau dibantu cek, mengapa bayi belum juga menunjukkan tanda
akan lahir ke dunia?.
Aku meminta dimasukkan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Dengan didorong kursi roda, aku memasuki ruang transit. Persiapan akan melahitkan. Karena sudah melewati hari perkiraan lahir (HPL) dan belum ada mulas, maka dokter memutuskan agar aku untuk mengikuti proses induksi. Yakni mendorong kelahiran dengan memasukkan obat ke dalam cairan infus yang disuntikkan ke tubuhku.
Aku meminta dimasukkan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Dengan didorong kursi roda, aku memasuki ruang transit. Persiapan akan melahitkan. Karena sudah melewati hari perkiraan lahir (HPL) dan belum ada mulas, maka dokter memutuskan agar aku untuk mengikuti proses induksi. Yakni mendorong kelahiran dengan memasukkan obat ke dalam cairan infus yang disuntikkan ke tubuhku.
Sudah
3 labu cairan infus disuntikkan, hampir dua belas jam proses
ini kulewati. Aku mulai sering merasakan mulas, namun tak berpengaruh banyak
pada pembukaan jalan lahir. Hingga aku mulai merasa lemah dan posisi kepala bayi
masih jauh dari jalan lahir.
Kerena sudah pembukaan
7, namun kepala bayi masih jauh dari jalan lahir, akhirnya dokter melajutkan
proses induksi dengan cara lain, yakni meminta perawat memasukkan balon. Usaha
tersebut tidak membuahkan hasil.
“Dok,
aku sudah enggak kuat, Aku minta caesar saja dok,” pintaku pada dokter Soenardi, seorang dokter senior di RS tersebut.
“Baiklah,
kami akan persiapkan dokumen yang harus ditandatangani,” dokter menjelaskan.
Suami
menghampiri dan mengusap lembut rambutku. Beliau memintaku untuk tenang dan
meyakini bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jangan
terlalu khawatir, tenanglah ada Alloh.’’ Ia berbisik di telingaku saat mendorong ranjang memasuki ruang operasi.
Sebelum
melakukan proses bius total, kami berdo'a bersama. Aku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya
keselamatan jiwa dan bayi pada sang Pencipta. Hingga lamat-lamat kudengar suara
orang sedang mencuci peralatan dan bagian tubuh bekas operasi mulai terasa perih.
“Dokter,
bagaimana kondisi bayiku?”tanyaku pada sang dokter.
“Älhamdulillah
sehat Bu,” ujarnya menjelaskan.
“Lelaki
ataukah perempuan, dok?” tanyaku penasaran.
“Nanti
Ibu bisa melihatnya langsung di kamar ya.” Dokter menjelaskan dengan sabar.
***
“Bayinya
lucu banget Mi, sehat.” Suami menyampaikan kabar bahagia padaku.
“Kulitnya
putih bersih sepertimu dan rambutnya ikal seperti aku,” lanjutnya menjelaskan.
“Matanya
bulat dan mulutnya mengecap-ngecap minta ASI.”Penjelasanya membuatku penasaran
dan ingin segera bertemu.
Bayi
gemuk itu kini tengah menyusu dengan lahap.
“MasyaAlloh
ini toh anak yang selama ini ada
di perut Ummi. Gantengnya.” Aku berbicara pada bayiku seakan ia mengerti akan
ucapanku.
Sembilan
bulan terindah bersamanya, anak sulung kami, yang memberikanku banyak pelajaran.
Menjadi
seorang Ibu itu menuntutku untuk ikhlas berkorban. Menurunkan kadar egoku dan
berfokus pada keluarga. Melayani suami dan mendidik serta merawat anak-anak.
Memberikan
ASI ekslusif adalah niatku dan suami yang butuh banyak dukungan. Kala itu belum
ada jasa pengantar ASI ke kantor. Sehingga saat aku kembali untuk mengajar,
kami harus mengatur waktu sedemikian rupa agar ASI tetap diberikan degan baik.
Beruntung
lokasi tempat aku mengajar cukup dekat dengan rumah kontrakanku. Aku meminta di
plot tidak lebih dari 6 SKS.
Terima
kasih ya Alloh atas segala karunia yang Engkau curahkan pada kami. Anak sulung
yang Engkau titipkan akan kami jaga dan rawat. Ia adalah generasi penerus cita
bangsa. Akhmad Faqih adalah nama yang kami berikan padanya. Disertai dengan harapan
sang anak bahagia dan sejahtera Menjadi seorang Fuqoha atau ahli di bidangnya, serta menjadi anak yang sholeh dan dicinta Alloh SWT. Aamiin Ya Rabb.
Senangnyaa mempunyai bayi yang sehat dan lahap minum asi. Nutrisi terbaik ya asi. Semoga si babynya makin sehat dan pinteer
ReplyDeleteAamiin terima kasih sudah berkunjung :)
DeleteAlhamdulillah..dulu saya juga pengen anak laki-laki, eh ternyata yang keluar perempuan...alhamdulillah tetap dan selalu bersyukur..semoga anak-anak kita bermanfaat bagi agama dan bangsa ya Ummi
ReplyDeleteBaca judulnya yuni seperti merasa akan membaca dongeng anak. Eh, ternyata kok berbeda. Hehehe
ReplyDeleteMungkin lebih koreksi typo saja, mbak.
��