Kisah
Sang Kancil dan Buaya adalah cerita yang masih lekat di kepala. Diceritakan
bagaimana Sang Kancil saat itu perutnya tengah lapar. Ia melihat ada kebun
mentimun di seberang sungai. Mulailah kancil menyusun strategi bagaimana caranya
agar bisa sampai ke seberang sungai. Kancil
kemudian mengecoh buaya.
Kisah-kisah
sang Kancil tiba-tiba menyeruak di kepala. Manakala diri ini jenuh dengan
segala intrik dan tipu daya. Meski saya bukan ahli dalam bidang politik. Saya
pun bukan pemilih fanatik. Namun dagelan akal-akalan dari para Dewan. Sesi
jegal-menjegal penuh intrik membuat saya bertanya-tanya. Apa gerangan yang
menyebabkan kebiasaan buruk tersebut seakan membudaya?
Ingatan
saya kembali ke kisah masa kecil mengenai Sang Kancil. Akankah kecerdikan sang Kancil menjadi ‘panutan’ para
politisi masa kini dalam menyelesaikan permasalahan? jangan-jangan cerita kancil
tanpa sadar telah membuat sebagian besar kita memiliki alibi untuk
mengecoh, membuat trik dalam menyelesaikan masalah?
Pendapat
saya tersebut terkuatkan, manakala jemari ini menyusuri informasi melalui mesin
pencari google. Terdamparlah saya pada sebuah karya ilmiah yang isinya kurang
lebih sependapat dengan saya. Mewaspadai implikasi cerita sang Kancil dalam
budaya bangsa.
Dalam makalah yang dimuat di situs www.academia.edu, Aprinus Salam yang merupakan Staf pengajar Sastra Indonesia,
FIB UGM, Yogyakarta menjelaskan:
“Sebagaimana diketahui,
sebagai negara berkembang, hingga hari ini Indonesia belum berhasil ke
luar dari ketidakseimbangan, dari ketidakharmonisan, dari ketidakselarasan, menuju
suatu negara yang harmonis, yang selaras, yang seimbang.
Dalam bahasa yang lebih
populer, sesungguhnya Indonesia masih dalam ancaman krisis lemahnya penegakan
hukum, kehidupan politik yang tidak stabil, kehidupan ekonomi yang korup (atau
secara umum disebut budaya KKN), dan lebih parah lagi, kehidupan moral yang
memburuk. Sebagai suatu masyarakat pewaris dongeng kancil, masyarakat Indonesia
dituntut kecerdikannya untuk mengatasi persoalan tersebut. Akan tetapi, di sinipulalah
letak masalahnya. Mencermati definisi foklor seperti telah dikemukakan didepan,
maka secara sadar atau tidak karakter kancil justru menjadi model bagaimana
masyarakat Indonesia mengatasi persoalan tersebut dengan sejumlah tipu-tipu
dalam mengatasi atau menyiasati problem yang dihadapinya.
Ada upaya mengatasi
berbagai masalah secara emosional dan terkesan terburu-buru, tanpa memikirkan
dampak dari solusi tersebut pada masa-masa kemudian. Hal tersebut,sekali lagi,
menjadi sangat gamblang ketika kita membaca dan melihat kehidupan politik,
ekonomi, hukum, dan sosial yang terjadi di negara Indonesia.”
Cerita foklor merupakan tradisi sastra lisan. Disebutkan bahwa kisah
Sang Kancil berasal dari India. Pemilihan tokoh kancil, digambarkan sebagai
perlawanan atas kekuatan kaum lemah terhadap kaum kuat. Bagaimana kaum lemah
menang atas kaum kuat adalah dengan menggunakan ‘kecerdikannya’ dan adu fisik
menjadi pilihan terakhir.
Dalam makalahnya tersebut, Aprinus Salam menyebutkan bahwa kancil
pun sering dijadikan tokoh fabel di Eropa. Namun kancil bukan digambarkan
sebagai binatang cerdik dan banyak akal. Kancil digambarkan sebagai hewan
pelestari lingkungan.
Jangan jadikan kisah kancil dengan segala intriknya sebagai
dongeng fabel wajib bagi anak-anak kita. Nyata sudah di depan mata, bagaimana
sebuah cerita berdampak dalam pembentukan karakter Bangsa. Sudah saatnya Ayah
dan Bunda jeli dalam memilih cerita untuk dibacakan pada Ananda tercinta.
wah menginspirasi banget gan :)
ReplyDeleteTks :)
DeleteSi Kancil Anak nakal, kini menjelma menjadi Manusia Nakal beneran... Semoga orangtua masa kini mendongengkan kisah-kisah yang lebih membumi dan manusiawi... Bukan fabel yang berakibat fatal seperti ini...
ReplyDeleteDari judulnya aja udah keliahatan ngajarin yang gak bener...hehehe ;-)
Iya Mbak Gina..sereeem yaa..:)
Delete