Warung kecil itu terletak persis
di pinggir jalan. Ramai dikunjungi pembeli karena sayur mayurnya yang lengkap
serta harganya yang terjangkau. Kualitas
sayur mayur yang dijual pun lumayan bagus. Saya seringkali mampir berbelanja
sepulang mengantar anak sekolah.
Ibu pemilik warung adalah wanita
paruh baya, yang nampak sibuk melayani pembeli sembari mengurus anak lelaki
berusia 2 tahunan. Anak itu seringkali terlihat rewel, rupanya setelah saya
tanya, bukan anak kandungnya. Anak kecil itu ditinggal wafat Ibunya, yang konon
terkena sakit mendadak.
Satu saat ketika berbelanja saya mendapati sorang lelaki datang mengendarai motor. Lelaki itu menggunakan jaket hitam, turun dari motor sembari membawa buku kecil. Dari penampakannya seperti hendak menagih sejumlah uang. Benar saja, lelaki itu adalah petugas ‘Bank Keliling’.
Bank keliling adalah istilah yang
kerap diberikan pada individu yang memberikan jasa pinjaman uang. Berbeda
dengan jasa peminjaman uang yang dijamin pemerintah semisal perbankan atau
koperasi, bunga yang diberikan sangat tinggi. Tak jarang saya mendengar banyak
orang jadi korbannya. Mereka tak mampu membayar pokok pinjaman, setiap hari
hanya membayar bunganya saja. Bunga yang semakin berlipat-lipat hingga tak
sedikit akhirnya mereka kehilangan tempat tinggalnya. Bahkan ada keluarga yang
bercerai dan –maaf -- terserang sakit jiwa karena hutang yang semula jumlahnya
kecil, makin lama membengkak dan merenggut kebahagiaan yang mereka miliki.
Saya pun tak habis pikir, ketikaa\ mendapati hal yang sama terjadi di depan mata. Ibu pemilik warung yang laris
itu memilih menggunakan jasa Bank Keliling untuk menyelesaikan masalah
keuangannya. Nampaknya kebutuhan mendesak menjadikan dia memilih solusi salah
tersebut. Bank keliling memang tidak membutuhkan banyak syarat saat seseorang
akan meminjam uang. Syarat yang seringkali masyarakat kecil tak miliki.
Sedih juga rasanya melihat
fenomena tersebut. Namun apa daya, saya belum bisa banyak membantu untuk urusan
yang satu ini. Kenyataan di lapangan memang demikian adanya, kebutuhan mendesak
seakan memperoleh jalan keluar dengan adanya jasa bank gelap tersebut yang sesungguhnya bunganya
amat mencekik.
Sempat terpikir alangkah eloknya
jika mereka memiliki koperasi kecil, namun tentunya itu tak mudah pula jika
dikelola perorangan. Tak mudah karena kenyataannya, para peminjam kadang ‘nakal’
tak membayar pinjaman sehingga koperasi bangkrut. Sepertinya perlu koperasi
untuk warga miskin namun dikelola secara profesional, sehingga mereka mau
menyisihkan uang untuk disiplin membayar kewajibannya.
sumber : finance.detik.com |
Pagi ini saat berbelanja sayur,
saya tak bertemu Ibu pemilik warung tersebut. Konon kabarnya Ibu tersebut
sakit. Dan tanpa sengaja saya bertemu dengan petugas bank keliling yang tempo
hari datang menagih. Anak pemilik warung tidak mempertemukan penagih dengan
Ibunya yang sakit. “Mudah-mudahan bukan pertanda buruk,” batin saya. Moga saja
ada tangan malaikat yang mau menyentuh kebutuhan keuangan kaum marginal
perkotaan. Yang ramah dalam pelayanan administrasi namun bisa tegas saat
menagih pembayaran sehingga layanan keungan tersebut bisa berkembang pesat bersamaan dengan makin mapannya ekonomi kaum
pinggiran. Hingga tak ada lagi korban yang berjatuhan, dari pinjaman kecil, membengkak
hingga menyita rumah dan harta lain yang
mereka miliki. Tak merampas sekeping kebahagiaan rakyat jelata yang kebutuhan
hidupnya masih berputar di urusan perut. Semoga.
Miris ya Teh..kasian mereka, jadi ibaratnya seperti, sudah jatuh tertimpa tangga pula...:(
ReplyDeleteIya...moga dpt perhatian dri pmerintah yaa..
Delete