Al-Hanif

Gemuk perawakannya, ditambah chubby pipinya, itulah Kakak Hanif, panggilan kami untuk anak ke-tiga.  Kakak Hanif anak yang hobi makan, di saat sakit ia tetap punya selera makan tinggi. Hal itu membantunya saat terserang demam berdarah, qadarullah Kakak Hanif melewati masa kritis tanpa kami ketahui ia mengidap penyakit berbahaya tersebut.

“Anak ke tiga Ibu, berdasarkan hasil cek darah sudah melewati masa kritisnya, Bu. Sama dengan ke dua kakaknya, ia terserang demam berdarah. Lain kali jika anak terserang demam sudah lewat dari 3 hari segera periksakan darah ya Bu,” pesan perawat yang membacakan hasil test darah.

Aku ingat betul setiap anak-anak terserang demam, senantiasa kuminta untuk minum minimal 1 liter air. Masing-masing ku beri botol minum. Selain itu aku ikhtiar meminumkan jus jambu, disertai propolis. Pertolongan Allah Swt semua kembali sehat.

Selain hobi makan, kakak Hanif juga dikenal penakut. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang sudah mandiri pergi dan pulang ke sekolah sendiri, Kakak Hanif pernah pulang dari sekolah sambil menangis. Ia ingin ditemani, tidak berani di sendiri. Alhasil saat aku mengelola Daycare Bintang Cherria dan TK Bintang Cherria, Al Hanif menjadi salah satu siswaku.

Akibat jiwa penakutnya, aku sempat khawatir akan kemampuannya beradaptasi dan ikut pelajaran di pondok. Meskipun ada dua kakaknya yang sudah lebih dulu bersekolah di sana, rasa  khawatir itu masih menghantui. Takut Hanif minta ditemani saat  mau ke WC di malam hari dan teman-teman menolaknya. Ah pokoknya pikiranku galau, banyak dipenuhi rasa kekhawatiran.

Sekolah di Pondok Mengubah Segalanya

Awal masuk pondok, Hanif sering sakit. Bolak-balik kami antar jemput, kejadian yang persis dialami oleh kedua kakaknya. Aku berusaha memahami hal itu terjadi sebagai bagian dari sebuah proses penyesuaian fisiknya dengan kehidupan di pondok.

Pernah satu kali aku datang ke pondok di jam istirahat sekolah, langsung ke asramanya dan mendapati dirinya menangis.

“Mengapa Kakak menangis?”

“Sakit kaki, Mi tapi wali santri tidak percaya.”

“Oh, itu karena beliau ingin kakak menjadi anak yang kuat.”

“Tadi Hanif sudah izin gak akan sekolah dulu, Mi tapi ternyata sekarang Hanif diminta masuk kelas.”

“Masuklah Nak, sabar ya,” aku membesarkan hatinya.

Tujuh hari setelah kejadian itu, aku kembali menengoknya di pondok. Ia bercerita setelah memaksakan diri untuk masuk sekolah, malamnya tidak bisa jalan. Rupanya Hanif benar-benar sakit tapi tidak ada yang mempercayainya, termasuk aku, Ibunya. Bisa jadi karena wajah Kakak Hanif terlihat tidak menunjukkan rasa sakit, sekilas seperti mencari alasan untuk tidak sekolah. Astaghfiruloh.

“Kakak diobati siapa?” tanyaku

“Ada teman bantu kakak mencari satpam untuk memijat” 

Alhamdulillah setelah dipijat Kakak Hanif sembuh seperti semula.

Sejak sekolah di pondok, aku tidak pernah mendengar keluhan masalah ketakutan-ketakutan yang sering ia alamai saat di rumah. Selaku Ibu, aku juga tidak menceritakan secara spesifik mengenai “penakutnya” anakku pada wali santri. Aku berkeyakinan setiap anak punya daya adaptasi dan setiap anak punya potensi untuk berubah menjadi lebih baik.

Apa yang kupikirkan terjadi di kenyataan. Kakak Hanif muncul menjadi pribadi baru, sosok pemberani.

“Apa Kakak suka minta antar teman saat harus ke toilet di malam hari?” tanyaku penuh selidik.

“Enggak Mi, sudah biasa sendiri, sudah berani,” demikian jawabnya.

Bagaimanapun lingkungan akan berpengaruh besar membentuk kepribadian dan mentalitas anak. Memasukkan anak ke pondok atau sekolah berasrama dengan tentu lambat laun akan membentuk pribadi anak menjadi sosok yang lebih baik.

Hasil Test IQ

Sewaktu  duduk di kelas enam sekolah dasar, Kakak Hanif mengikuti les di dua tempat. Pemantapan atau les bersama guru di sekolah dan di tempat bimbingan belajar yang tak jauh dari rumah. Rupanya berbeda dengan kedua kakaknya, meski sudah mengikuti les di dua tempat, hasil UN sangat jauh berbeda, angka yang diperolehnya kecil. Aku melihat potensi anakku yang nomor tiga ini bukanlah di akademik.

Kemungkinan besar ia tidak menyukai hal-hal yang bersifat teori, lebih tertarik pada alat atau hardware. Aku ingat ia sering membongkar barang-barang di rumah saat kecil dulu. Karenanya aku tidak memaksakan ia untuk menguasai hal-hal yang bersifat hafalan.

“Bu, nilai Hanif jauh di bawah KKM,”guru menjelaskan saat pembagian raport.

“O ya Bu mungkin karena sempat sakit satu bulan ya,” aku mencoba mencari alasan penyebab nilainya anjlok saat duduk di bangku SMP.

Hal yang membuat aku gembira adalah saat Hanif menyampaikan bahwa ia punya “kakak” baru. Rupanya ada siswa SMA di pondok yang gemar otak-atik hardware atau perangkat keras komputer.

“Hanif senang bermain dengan kakak itu Mi. Dia punya buku komputer dan suka berada di laboratorium komputer. Hanif suka ikut,” ia menjelaskan dengan mata penuh binar.

Alhamdulilah apa yang kupikirkan ternyata ada benarnya, Hanif memang lebih suka hal-hal yang berbau praktik. Ini menjadi catatan penting di kepalaku selaku Ibu yang akan mengarahkan langkahnya menuju masa depan terbaik.

Selain gemar otak-atik hardware, kakak Hanif juga memiliki kemampuan belajar yang baik secara auditory, Ia tidak boleh selalu ada dalam tekanan. Semakin ditekan untuk belajar semakin tidak bisa menyerap apa yang disampaikan.

Terlihat saat ujian di rumah selama PSBB ia sering mendapat peringkat lima besar saat ujian online.

“Aku peringkat tiga, Mi.” Kejutan untukku yang  semula mengira ia tidak dapat berprestasi dalam bidang akademis.

Hal yang membuat kami tercengang adalah saat pembagian hasil test IQ ia memiliki skor paling besar di antara saudara-saudaranya, artinya secara intelektual ia memiliki potensi yang luar biasa, tinggal aku selaku orangtua harus pandai mengarahkannya agar potensi tersebut berkembang maksimal.

Air Tidak Mengalir

Sudah beberapa hari air di rumah macet, aku mati kutu tidak menemukan solusi karena tukang yang biasa memperbaiki tidak bisa datang. Ia sedang berada di luar kota dan belum bisa pulang dalam waktu dekat akibat ketatnya pemeriksaan di masa PSBB akibat pandemi corona virus.

Untuk menelusuri penyebabnya, aku mengajak Hanif membantuku menganalisa dan mencoba memperbaiki. Karena aku tahu dia lebih peka masalah perangkat keras. Alhamdulillah ia mau mencoba membantu dengan mempelajari tutorial yang ada di Youtube.

“Ummi, menurut Hanif masalahnya bukan di mesin, karena Hanif mendengar aliran air dari atas masuk ke penampungan air di bawah,” ia berargumen setelah mencoba menelusuri penyebab macetnya air.

“Jadi solusinya bagaimana, Kak?”tanyaku.

“Sepertinya ada sumbatan dari penampungan air di atas, Mi,” ia mengungkapkan kemungkinan penyebab air macet.

“Coa Hanif bersihkan ya, Mi,” segera ia menuju lantai atas dan mulai bekerja membersihkan penampungan air atas.

Alhamdulillah, terima kasih Kakak Hanif pipi chubby.













1 comment:

  1. Masya Allah kaka Hanif... Soleh ya ka... Setiap anak memang unik ya Ummi mereka punya kelebihan dan kekurangan masing2..

    ReplyDelete