Pecicilan



“Oke, Ummi pulang dulu ya, jaga diri baik-baik.” Aku mengulurkan tangan, dan kedua bujangku menciumnya dengan penuh khidmat. 

“Jaga diri ya, tetap menjadi anak yang sholeh.” Setelah itu, aku bergegas menuju area parkir yang letaknya tak jauh dari asrama ikhwan. Kedua bujangku melangkah menemani hingga mobilku hilang dari pandangan.

“Eh, punten kalau yang tadi siapa?”

Wajah seorang Ibu, orang tua santri yang ikut pulang denganku tampak keheranan. 

“Itu semua anakmu?” tanyanya lagi seakan tak percaya.

“Ya iya dong itu anakku, Aa Sayid dan Kakak Hanif,” aku menjelaskan.

Lha kalau Hanif mah saya tahu, tapi satunya lagi aku gak kenal. Pantesan koq ikut salam sama kamu. Ternyata itu Sayid ya, Ma syaa Allah pangling. Terakhir bertemu waktu dia masih SD,” ujarnya disertai senyum melebar. Aku tertawa mendengarnya.

Aa Sayid, anak ke dua kami, memiliki perawakan kurus, kulitnya putih berbeda dengan sang adik, Kakak Hanif, ia memiliki tubuh gempal dan kulit sawo matang dengan mata bulat. Tak mirip memang, sehingga hampir setiap orang tidak akan menyangka bahwa mereka adalah kakak-adik. Selain karena tinggi badan keduanya nyaris sama, seperti teman sebaya.

Usia keduanya terpaut tiga tahun. Jadi, Aa Sayid mendapat ASI sempurna, aku menyapihnya tepat di usia dua tahun. Beberapa bulan setelahnya aku hamil anak ke tiga, yakni Kakak Hanif. Keduanya meski memiliki selisih usia tiga tahun, sejak bersekolah di pondok kemana-mana selalu bersama. Ma syaa Allah Tabarakalloh.

Pikiranku melayang ke masa Sayid masih kecil. Aa Sayid termasuk anak yang aktif dan sering “bikin ulah” di kelas saat duduk di bangku TK maupun SD. Aa sering berkelahi dengan teman. Pernah satu saat di telinganya terdapat luka bekas gigitan. Aku menghadap guru TK meminta penjelasan kronologis peristiwa yang terjadi. Aku berkomunikasi juga dengan orang tua anak yang melakukan insiden tersebut, kami jadi dekat satu sama lain saling mengawasi dan berkabar.

Cerita “keseruan” Aa di kelas sering kami dapat dari teman satu kelas yang kebetulan rumahnya tak jauh dari kami.

“Ayah Sayid, tadi di kelas Sayid rebut, lempar-lempar pesawat kertas.” 

Gadis kecil itu membuat “laporan singkat”, biasanya dilakukan di depan pagar, dekat ruang komputer tempat Abi bekerja.

“Sayid, sudah kerjakan PR?” lain waktu ia kembali berdiri dekat pagar memanggil anak kami.

Aku dan Abi jadi tahu kalau hari ini Sayid belum mengerjakan PR karena informasi singkat dari anak berkulit putih berpipi chubby tersebut.

Terlambat Pulang ke Rumah

Kejadian ini terjadi saat Sayid duduk di bangku kelas 1 SD. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB, Sayid belum tiba di rumah. Aku mulai cemas. Seharusnya paling lambat jam 13.30 WIB dia sudah tiba di rumah. Kemanakah gerangan dia?

Ini bukan pertama kalinya ia pulang terlambat. Sering dia bermain ke rumah teman dan lupa waktu. Aku merasa kesal karena Sayid melanggar janji untuk pulang sesuai jam sekolah, tidak main dulu ke rumah teman, tetapi langsung pulang ke rumah.

“Aa janji Bi, gak akan pulang lewat waktu,” ucapan itu disampaikan Sayid pada Abi yang terpaksa menghukumnya karena bermain lupa waktu, pulang ke rumah lewat maghrib.

Kami menerapkan aturan paling lambat pulang ke rumah---setelah bermain di sore hari – adalah pukul 17.00 WIB. Rupanya saking asyiknya ia lupa waktu dan itu dilakukan berulang. Hari ini kena hukuman, besoknya berulah yang sama.

Kembali kutatap jam dinding, sudah pukul 15.00 WIB. Segera kuputuskan untuk mencarinya, khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Kuambil gendongan kain, ku dekap si kecil Aleeya. Tangan kananku menggandeng Kakak Hanif yang baru berusia 4 tahun lebih. Kutelusuri keberadaannya di rumah tetangga tetapi nihil. Lalu kuputuskan untuk bertanya pada wali kelasnya, kebetulan rumah beliau di komplek sebelah. Beliau membuka absen kelas menelusuri nama teman dekat Sayid.

Setelah beroleh nama teman yang biasa bermain bersama Sayid, bergegas aku melanjutkan mencarinya. 

“Kakak Hanif jangan bermain terlalu jauh seperti ini ya. Biasakan pulang sekolah langsung ke rumah,” ucapku dalam langkah tergesa pada Hanif yang berjalan mengikuti langkahku.

Alhamdulillah akhirnya pencarianku menemukan hasil, Sayid tengah asyik bermain video game di rumah teman. Syukur kupanjatkan ia bisa kutemukan.

Begitulah Sayid sering tiba-tiba hilang bermain jauh lewat waktu. Sayid anak yang aktif tak bisa tinggal diam. Mungkin berada terus menerus di rumah tanpa hiburan itu menjemukan.

Nyaris Tidak Naik Kelas 

Aku memaklumi kondisi Sayid yang memiliki karakter berbeda dengan sulungku, dan berusaha untuk tidak ambil pusing, hingga saat dia duduk di kelas 5 SD wali kelas memanggilku.

“Anak Ibu tergolong 10 anak yang berpotensi tidak naik kelas,” penjelasan wali kelas 5 itu mengejutkanku.

“Jika tidak ada perubahan, kemungkinan besar ia tidak akan naik kelas,” lanjutnya membuat aku
makin terkejut.

Sayid memang selalu aktif dan tidak mau tinggal diam di kelas. Kabar yang sering aku peroleh ia sering tidak selesai mengerjakan tugas dan kerap mengganggu teman-temannya.

Sebagai seorang pendidik, aku paham biasanya anak yang aktif seperti Sayid, sering mengganggu teman, salah satunya karena merasa bosan dengan pelajaran yang disampaikan.

Mulailah aku berunding dengan salah satu orang tua siswa, yang anaknya terkategori 10 nama calon tidak naik kelas. Kami sepakat mencari tempat les yang bisa membantu anak-anak kami mengejar ketertinggalannya.

Beruntung aku mengenal salah satu orang tua siswa membuka jasa bimbingan belajar di rumahnya. Selain menjadi guru bimbel di rumah, beliau juga bekerja menjadi seorang guru di bimbingan belajar Ganesha Operation.

Tentu, ia paham bagaimana menyajikan cara belajar yang menarik. Aku bisa berkomunikasi lebih leluasa mengenai kondisi anak-anak kami.

“Bu, Sayid itu suka dengan cara belajar visual dan kinestetik. Bisa dibantu dengan membuat mind mapping, ya, Bu supaya dia lebih paham.”

Ibu Ririh, wanita berkacamata dan berambut ikal itu menangguk memahami yang aku sampaikan.

“Titip Sayid dan teman-teman ya Bu, mereka anak-anak luar biasa.”

Alhamdulillah Sayid dan kawan-kawan mengalami kemajuan signifikan. Aku makin yakin tidak ada anak nakal. Yang ada hanyalah kita selaku orang tua atau guru belum menemukan metode belajar yang pas untuk mereka.

Selain les privat, Sayid juga aku masukkan ke tempat les drum. Untuk menyalurkan energi ke arah yang lebih positif.

Sayangnya les drum tidak berlangsung lama karena ia harus lebih fokus belajar menghadapi Ujian Nasional (UN). Saat duduk di kelas 6 SD, selain melanjutkan les di rumah salah satu orang tua siswa tadi, ia juga ikut les atau pemantapan di sekolah.

Sengaja kami memilih yang dekat rumah dan sekolah agar waktu tidak terbuang percuma akibat ikut les dengan lokasi yang jauh dari rumah. Pengalaman kami, saat anak sulung Abang Faqih ikut les sempat jatuh sakit. Hal itu terjadi karena Abang ikut les di tempat yang terlalu jauh.

Alhamdulillah nilau UN Sayid sangat memuaskan. Begitulah Sayid, si anak pecicilan, ternyata bisa berprestasi jika sudah paham di mana potensi yang dimilikinya berada. Alhamdulillah 




1 comment:

  1. Masyaallah tabarakallah selamat ya Sayid nilai UN nya sangat memuaskan, tipe kayak Sayid ini memiliki body smart intellegent kali ya Mi, anak kinestetik juga

    ReplyDelete