Masuk Pondok


Sejak masuk kelas enam sekolah dasar, abang Faqih mulai diajak berkeliling melihat sekolah-sekolah favorit di kota Bandung. Tujuannya supaya abang mempunyai gambaran lokasi dan suasana sekolah yang akan dijalani saat SMP nanti, menjadi afirmasi dan cita-citanya.

Saat itu belum terpikir untuk serius memasukkannya ke pondok. Alasan utama adalah biaya masuk pondok lebih mahal daripada menyekolahkan anak masuk sekolah negeri. Apalagi kami memiliki empat  orang anak, sehingga bukan hanya ia saja yang harus kami sekolahkan, ada tiga orang adiknya yang menjadi beban tanggung jawab kami.

Qodarulloh, saat menjelang kelulusan  SD, abi mengganti rencana dengan memasukkan abang ke pondok. Sebuah putusan mendadak yang membuat abang awalnya menolak. Abang tidak menerima hal itu. Bagaimana tidak, saat itu itu ia memperoleh nilai UN besar, sehingga cukup untuk masuk ke sekolah menengah pertama negeri yang diidamkannya. Setelah dijelaskan panjang-lebar oleh abi, akhirnya ia mulai bisa beradaptasi dengan keputusan dari orang tua. Saat itu kondisi abi sudah mulai sakit.

Melepas anak mondok bukan perkara mudah bagi kami orang tuanya, juga bagi anak kami. Tetapi demi tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, bismillah kami  melangkah. Sepengetahuan kami, anak-anak memiliki daya adaptasi, tinggal bagaimana orang tua terus mendorong dan membesarkan hati. Kerjasama dua pihak antara orang tua dan anak tentu dibutuhkan. 

Perjalanan mengantar abang  bersekolah ke pondok bisa dikatakan cukup dramatis.  Tahun pertama bersekolah lebih sering sakit dan merajuk ingin pulang. Alhamdulillah seiring waktu akhirnya memiliki sahabat dan mulai bisa beradaptasi sehingga akhirnya bisa ikut kegiatan dengan baik. 

Selanjutnya, aku sering memberikan pesan padanya untuk mau bekerja sama saling sayang menyayangi terutama dengan teman-teman satu kamar. Misalnya, saat ada teman yang sakit, harus mau membantu mengambilkan obat, membawakan makanan dan melaporkan ke pihak UKS. Alhamdulillah laporan dari wali santri yang aku peroleh menyatakan bahwa abang peduli pada kawan yang sakit dan mau membangunkan teman agar tidak terlambat.

Secara Akademik prestasinya biasa-biasa saja, tidak termasuk 10 besar di kelas,  kemampuan di bidang TIK sangat menonjol dibandingkan dengan teman-temannya. Salah satu temannya beranggapan bahwa sewaktu SD  pasti abang bersekolah di tempat yang memiliki laboratorium  komputer yang memadai. Padahal kenyataannya, hanya bersekolah di SD negeri yang masuk ke gang kecil dan  memuat dua lokal gedung.

Abang belajar mengenal dan mengoperasikan komputer dengan mengamati aktivitas kedua orang tua. Aku dan suami adalah dosen sehingga aktivitas kami di rumah lebih sering berhadapan dengan komputer. Jujur saja, kami tidak pernah mengajarkan mengoperasikan komputer dan menggunakan fitur-fitur di dalamnya secara khusus. Aku lebih sering meluangkan waktu untuk mengajarinya mengenal pemograman dasar atau coding. 

Keterampilan lain yang ia kuasai dan lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temannya adalah penguasaan bahasa Inggris. Nilai UN bahasa Inggris saat lulus SMP mendapat skor sebesar 96 yang diperolehnya dengan belajar secara otodidak.

Masa SMA

Masa transisi dari SMP ke SMA memiliki tantangan yang luar biasa besar. Pertama adalah karena ayah sudah wafat ketika ia mau naik ke kelas dua SMP,  akibat tumor ganas. Kedua, karena hanya sebagian teman-temannya saja yang lanjut pendidikan di pondok yang sama.

Abang berulang kali minta pindah, hingga satu ketika aku menitikkan air mata saat permohonan itu kembali disampaikan. Sungguh tidak mudah menjalani, karena aku tidak punya teman diskusi untuk memberikan pengertian lebih banyak kepada anak. Aku sangat sedih mendengar bahwa abang tidak ingin melanjutkan pendidikan SMA di pondok yang sama. Apalagi ia melaporkan bahwa beberapa temannya sering melakukan bully.

Pihak sekolah menyebutkan bahwa ia sering tampak menyendiri seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.  Bagaimana ini? Aku makin was-was apalagi saat itu marak berita di koran tentang bullying yang mengakibatkan seorang anak bunuh diri. Ya Rabb lindungilah anak kami…

Alhamdulillah adanya jalinan komunikasi yang baik dengan wali santri saat duduk di bangku kelas satu SMA semua bisa terlalui dengan baik. Aku kerap menyampaikan keluhan masalah bullying yang dirasakan abang dan wali santri menyikapi dengan baik. Hal utama yang kulihat saat itu adalah kemampuan beliau mengendalikan suasana sehingga masalah bullying ini tidak melebar. Bisa diselesaikan hingga ke akar masalah. 

Sepanjang SMA aku  tidak pernah memintanya untuk menduduki ranking di kelas. Selaku ibu yang juga seorang pendidik, aku paham bagaimana beratnya kurikulum sekolah yang ia jalani. Dengan kemampuan daya tangkap pelajaran yang beragam, ditambah gaya guru mengajar yang kadang tidak sesuai dengan anak adalah faktor-faktor yang mendukung munculnya nilai sebagai hasil proses belajar.

“Ummi enggak minta abang menjadi juara di kelas, yang ummi harapkan abang bisa belajar banyak lebih dari sekedar menghapal. Di pondok, abang belajar mandiri, bersosialisasi, belajar ilmu agama,” demikian pesan aku padanya.

Qodarulloh enam tahun dipondok dapat dilalui dengan penuh suka dan duka. Alhamdulillah meski banyak penolakan di awal, dengan pertolongan Allah semua dapat dilalui dengan baik. Abang dinyatakan lulus dari pondok dan saat itu diterima kuliah di jurusa teknik sipil UPI.

Ma syaa Allah tabarokalloh luar biasa gembira hati ini mendapat hadiah diterimanya abang di perguruan tinggi negeri. Prestasinya ini tentu mengejutkan banyak pihak, sama halnya dengan saat ia lulus SD dengan nilai UN tinggi, bisa dikatakan semua orang under estimate karena abang bukan bintang kelas. Sekali lagi selaku Ibu, aku yang lebih paham siapa sebenarnya anakku . Aku yang akan lebih sabar dengan proses mendidiknya. Saat itu aku menyadari kelemahan anakku di banyak mata pelajaran sehingga tak secemerlang teman-temannya. Untuk itu aku hanya berfokus pada potensinya di dua bidang yakni TIK dan bahasa Inggris.

“Terima kasih Mi sudah menyekolahkan abang di pondok,”air mataku berderai di pipi mendengar ucapan itu. Kalimat yang sering kusampaikan berulang kali padanya saat menolak sekolah di pondok. Aku yakin satu saat ia akan menyadari itu. Dan apa yang kubayangkan terjadi juga, ia akan mengucapkan rasa syukur karena bersekolah di pondok. Mas syaa Allah, Tabarakallah.

Sebelumnya, saat ia merajuk, aku jelaskan bahwa abang belum belum bisa membedakan mana baik mana yang buruk. Tugas orang tua mengarahkan, kelak abang akan beryukur dengan langkah ummi dan abi menyekolahkannya ke pondok.

Kehidupan ini perjalanan singkat guna membawa bekal menuju perjalanan abadi di akhirat nanti. Semoga Allah Swt senantiasa menjagamu, Nak. Teruslah istiqomah dan memilih bergaul dengan orang-orang yang sholeh karena ia akan menjadi penentumu apakah hidupmu akan dipenuhi dengan keberkahan atau sebaliknya. Mari kita raih hidup berkah dan wafat dalam kondisi husnul khotimah. Aamiin Yaa Rabb. 






4 comments:

  1. Keren ceritanya. Saya izin menyimak. Buat bekal nanti menyekolahkan anak.

    ReplyDelete
  2. MasyaAllah ummi tulisan yang sangat menyejukkan hati membacanya

    ReplyDelete
  3. Aamiin ya Rabb... Alhamdulillah ya Ummi abang dapat melalui pendidikannya dengan baik. Semoga di bangku kuliah juga lebih cemerlang lagi ya Ummi.

    ReplyDelete