Dosen Killer

Kepalaku berdenyut kencang, merasa pusing bukan kepalang. Hari ini ajuanku untuk mengikuti sidang ditentang. Pasalnya, dosen pembimbingku menyatakan aku tak layak untuk mengajukan pendaftaran sidang.

Ah, aku jadi kesal. Mengapa hal itu baru diutarakannya sekarang? Bukankah setiap jadwal bimbingan aku selalu datang?

Aku jadi tambah kesal, karena merasa selama ini tak ada masalah dengan thesisku. Tetapi mengapa tiba-tiba ia menolak permohonanku?

“Saya khawatir, Ibu tidak bisa maksimal. Malu ‘kan Bu kalau nilainya nanti C? Lebih baik Ibu tidak maju ,” demikian penjelasannya.

“Pak, mohon kebijaksanannya. Selama ini saya rajin bimbingan. Tak ada masalah berarti dengan tehsis saya, kan Pak?” aku memohon kebijakan.

“Lebih baik disempurnakan, Bu,” beliau tetap bersikukuh pendapatnya.

Apa mau dikata? Meski awalnya terasa berat, pada akhirnya aku bisa menerima keputusannya. Bagaimanapun bagiku dosen pembimbing layaknya orang tua yang harus kudengar segala nasihatnya.

Berikutnya aku harus memikirkan biaya perpanjangan semester. Ya, konsekuensi yang kuterima akibat tidak bisa mendaftar siding adalah harus membayar biaya kuliah. Biaya yang cukup besar ukurannya untukku saat itu. Apalagi saat kuliah usiaku tidak muda lagi ditambah tanggungan 4 anak suai sekolah.

Aku Mulai Stres

Baru kali ini aku merasakan kegagalan dalam studi . Sebelumnya, aku selalu menyelesaikan studi tepat waktu. Jadi, ditolaknya aku mendaftar sidang seperti petir di siang bolong. Kegagalan ini membuatku malu. “Masa, kamu gak diluluskan mendaftar sidang? Apa kata dunia?”

Mulailah pikiran-pikiran buruk menyerangku. Bagaimana jika aku tidak lulus? Bagaimana jika aku terus menerus gagal? Aku mulai dilanda stres.

Ternyata menerima kegagalan bukanlah hal mudah bagiku yang terbilang selalu sukses dalam masalah akademis. Aku merasa mendapat aib. Hingga aku mulai paham mengapa ada orang-orang yang tak kuat menghadapi gagal studi akhirnya memilih bunuh diri. Naudzubillah ….

Aku tak bisa bohong dengan diriku. Kepalaku terasa penuh dengan ucapan-ucapan yang mencemooh dan mengkerdilkan diri, sampai akhirnya aku sering membaca artikel tentang kejiawaan. Ya Allah sedemikian kecewanya diri ini?

Apalagi aku melihat dengan mata dan kepala sendiri, ada kakak angkatan yang sudah berulang gagal mendaftar sidang dengan dosen pembimbing yang sama. 
Apakah aku akan mengalami hal serupa? Gagal dan gagal lagi?

Rupanya hidup tanpa pernah merasakan gagal itu bisa berakibat fatal.

Mulai Berdamai dengan Diri Sendiri

Aku lebih memilih untuk menyayangi diriku sendiri, dengan cara tidak membiarkan luka terus menganga akibat kecewa. Aku mulai memaafkan semua yang terjadi dan belajar menerima semua sebagai bagian dari takdir Illahi.

Mungkin bagi sebagian orang, ini terasa lebay. Tetapi demikianlah adanya. Setiap orang mempunyai ketahanan yang berbeda saat menghadapi masalah, aku berjuang jangan sampai menjadi “gila” karenanya, Ya Allah tolonglah aku.

Bisa jadi selama ini tanpa sadar aku terlalu sombong, berbangga diri sehingga Allah Swt tegur hinggia diriku jatuh tersungkur. Ampuni aku Ya Rabb.

Mulailah kubuka lembar-lembar thesis. Kupelajari kembali hal-hal yang dianggap kurang dan kembali menjalani proses  bimbingan, meski rasa sepi menerjang karena sebagian besar teman-teman telah lulus sidang.

Meski sebagai dosen pembimbingku terkenal killer di mata mahasiswa, aku yakin dengan kesungguhanku pasti satu saat beliau akan meloloskan dan memberikan izin padaku untuk mendaftar sidang. Pasti waktu itu akan datang padaku selama aku terus berjuang.

Kuhilangkan keegoan diri, aku lebih sering membuat janji untuk bertemu melaksanakan proses bimbingan lebih intensif.

Dalam proses aku meneliti dan mencari  solusi, aku pun melakukan banyak diskusi, kuyakin tak ada yang selamanya mudah dalam hidup ini. Sekarang saatnya aku lebih sungguh-sungguh berjuang untuk bisa lulus mendaftar siding dan memperoleh hasil gemilang.

Lebih dari itu, aku mendapat hikmah yang luar biasa. Bukan karena kepandaian manusia semua masalah bisa terpecahkan. Namun ada kuasa-Nya disetiap langkah hidup. Ya Rabb aku lalai untuk sungguh-sungguh  bermohon pertolongan-Mu di setiap langkah hidupku.

Akhirnya sang Waktu Datang

Rupanya kegigihanku untuk menyelesaikan thesis berbuah manis. Sang dosen pembimbing yang terkenal killer akhirnya merestuiku untuk maju mendaftar sidang. Alhamdulillah ya Rabb ternyata aku menang, mengalahkan rasa putus asa yang sempat menyerang.

Akibat hal ini, aku mulai mengenalkan apa arti kegagalan dan kecewa pada anak-anakku. Aku juga lebih lentur dalam menghadapi hidup. Dibawa enjoy saja.

Sebelumnya aku adalah pribadi yang serius, prefect sehingga sangat tidak toleran dengan kegagalan. Mulai dari cara bicara, cara berpakaian semua harus serasi dalam pandangan. Tetapi hal itu membuat aku mudah kecewa terhadap hal yang jauh dari kata sempurna yang kudapatkan dalam kehidupan.

Sukses dalam hidup, semua cita tercapai dengan baik, tentu jadi impian setiap orang. Memiliki jiwa lapang, mau menerima keadaan yang tidak sesuai dengan impian adalah hal yang harus dimiliki dalam hidup.  Kenapa? Karena hidup itu tidak akan selamanya mulus, akan nada kekecewaan yang harus kita hadapi dengan sabar dan tawakal.

Bersyukur aku dikaruniai anak-anak yang kuat. Mereka menghadapi masalah hidup yang lebih pahit dari sekedar tidak lolos sidang thesis seperti yang kualami. Mereka kehilangan Ayah yang kami panggil Abi saat usia mereka masih belum benyak mengerti suka duka kehidupan ini.

Di usia mereka saat ditinggal Abi, aku masih dalam masa-masa penuh kasih sayang Ayah. Aku besar dengan perhatian penuh ayah dan ibuku. Tetapi tidak dengan anak-anakku.

Kalimat penguat disampaikan oleh adik perempuanku saat aku gagal mendaftar sidang. “Teteh sudah mengalami hal yang paling berat dalam hidup, yakni ditinggal wafat suami. Gak lulus daftar sidang mah santai aja. Belajar lagi, ya nanti daftar lagi. Gitu aja. Simpel. Semangat.”

Lain lagi dengan cerita yang disampaikan adik lelakiku. Ia berkata jika sudah terbiasa menghadapi aneka kegagalan saat menjalani studi. Rupanya hal itu membuat dia lebih easy dalam menghadapi hidup. Enggak cepet stres.

Terima kasih ya Allah aku banyak belajar dari kegagalanku untuk lebih bijak dalam menghadapi hidup.

Gagal? Coba lagi

Gagal? Belajar lagi

Gagal? Bangkit lagi

Tiga kali gagal, tiga kali kita belajar

Ratusan kali gagal, ratusan kali pula kita mendapat hikmah

Asalkan jangan gagal karena kesalahan yang sama,

Jangan mengulang jatuh ke lubang yang sama,

Karena artinya belum bisa mengambil hikmah dari kegagalan sebelumnya.

Hidup sejatinya perjuangan masuk dari satu masalah ke masalah lain, penemuan satu solusi ke solusi lain. 

Berangkat dari pengalamanku yang tak mudah dan bersabar saat menghadapi kegagalan, aku mulai mengubah pola didikku pada anak-anak. 

Ajarkan anak menunda keingingan, dari sana ia belajar menahan dan sedikit kecewa.

Dampingi anak untuk berproses dalam menghadapi aneka masalah yang hadir dalam hidupnya
Kelak ketika dewasa dan menjalankan hidup yang sebenarnya, mereka siap secara ilmu dan mental.

Mereka paham hidup ini tidak seperti jalan tol, semua mulus terlewati. Pasti ada onak duri untuk menguji sejauh mana keyakinan akan pertolongan Allah Swt ada dalam diri.


0 komentar:

Post a Comment