Lengket

Berbeda dengan ketiga orang kakaknya yang lebih cepat mandiri, Aleeya sangat manja dan lengket denganku. Hampir setiap detik rasanya gerak langkahku selalu dibuntuti olehnya. Bahkan saat hendak ke kamar mandi pun Aleeya selalu meminta ikut serta.

Sejak kelahiran Aleeya, aku merasa tidak punya waktu pribadi, sepertinya ia tahu betul saat aku hendak bangun untuk mengerjakan sesuatu. Aleeya seakan tidak pernah nyenyak, selalu saja terbangun saat aku beranjak dari tempat tidur. Meski aku melakukannya dengan cara mengendap-ngendap.

Aleeya juga tergolong jago nangis, seringkali jika keinginannya tidak tercapai, menangis menjadi solusinya. Aleeya selalu ingin ikut kemana pun aku pergi, termasuk saat aku harus berangkat ke kampus. Repot rasanya menghadapi kemanjaan Aleeya.

Orang yang membuat Aleeya bisa berhenti menangis adalah Abi. Sosok Abi yang disegani mampu membuat tangisnya mereda. Karenanya jika merasa kewalahan menghadapi tangisnya, aku pasti meminta Abi untuk membantuku membujuknya.

Saat ini, usia Aleeya sudah 13 tahun, sudah sangat mandiri berbeda jauh dengan kebiasannya untuk mengekor kemanapun aku pergi. Aleeya melanjutkan studi di pondok bersama dua orang kakaknya.

Jika kutanyakan mengapa ia sering menangis saat kecil, Aleeya menjawab bahwa ia sangat ingin bermanja dan selalu bersama denganku. 

"Aleeya itu kalau nangis maunya disayang, dipeluk, ini malah dimarahin Ummi," selorohnya. Seingatku apa yang dikatakan Aleeya ada benarnya. Aku kurang mau membujuknya untuk berhenti menangis, lebih sering menanggapi tangisnya dengan kekesalan. Wajarlah jika kemudian suara tangisnya semakin kencang. Semakin aku kesal, semakin keraslah suara tangisnya.

"Nikmati tangis anak itu Mi, indah loh. Ini gak akan lama, satu saat pasti Ummi rindukan hiruk pikuk mengurus anak-anak,"jelas suamiku.

"Aku gak bisa menikmati, makin didengarkan makin kesal rasanya," aku menjawab dengan nada ketus.

Begitulah Aleeya, terus saja menangis hingga usia enam tahun, kebiasaanya tak berkurang. Hingga satu saat keadaan memaksanya untuk berhenti merajuk. Kejadian itu bermula saat ketiga orang kakaknya terserang demam berdarah. Kami harus melakukan cek darah ke rumah sakit. Aleeya memaksa untuk ikut sambil terus menangis, rasanya tak ada yang bisa menghentikan tangisnya karena Abi saat itu sedang berobat di Belitong.

Bersyukur aku memiliki adik perempuan yang tegas, mengingatkan pada Aleeya bahwa kami tak mungkin membawanya ke rumah sakit. Jika tetap memaksa ikut, Aleeya terpaksa kami titip di pos satpam.

Sontak saja Aleeya menolak dan mendadak tangisnya berhenti, ia turun dari mobil yang akan membawaku dan tiga orang kakaknya kontrol ke rumah sakit. Rupanya butuh ketegasan untuk mampu meluluhkan kerasnya keinginan Aleeya.

Tetap Lengket 

 "Ummi mau  ke mana? boleh Aleeya ikut?," tanyanya

Ah, Aleeyaku ternyata meski sudah masuk usia remaja dan mulai terbiasa mandiri di pondok. jika sudah bertemu denganku Aleeya tetap lengket, ingin ikut. Tentu karena sekarang sudah remaja, ia tidak menangis meraung-raung seperti saat masih kecil dulu.

Bulir-bulir air matanya tampak membasai pipi tatkala aku memintanya untuk tidak ikut.

"Kenapa menangis? Ummi pergi gak akan lama, sebentar saja," aku menjelaskan sambil mengusap air matanya.

"Jangan lama ya Ummi," selalu begitu permintaannya setiap kali aku akan pergi.

Beruntung adikku dikaruniai seorang anak perempuan yang menjadi penghiburnya. Selisih usia Aleeya dengan sepupunya itu lima tahun, seperti kakak dan adik. Keduanya saling menyayangi.

Kehadiran Zahra, demikian nama keponakan perempuanku, menjadi pengobat sepi. Bagaimanapun ketiga kakak Aleeya itu semuanya adalah laki-laki, cara komunikasi dan bermainnya tentu saja berbeda dengan anak perempuan.

Aleeya memperlakukan Zahra dengan penuh kasih sayang. Dari sini aku tahu bahwa ia manja karena merasa dirinya itu paling kecil di rumah. Lain halnya jika Zahra datang bermain atau menginap, Aleeya berubah menjadi kakak yang penuh tanggung jawab.

Pernah satu saat Zahra menginap di bulan Ramadan, Aleeya yang biasanya bangun paling akhir dan minta disuapi mendadak bangun untuk ikut memasak santapan saat sahur.

“Ummi bisa gak masak spagetinya?” tanyanya mengejutkanku,

Rupanya Aleeya paham betul jika Ummi tidak bisa memasak spageti, sementara sang sepupu selalu menyantap spageti saat sahur. Aleeya khawatir masakanku gagal dan Zahra tidak mau makan.

“Minumnya jangan yang itu, Mi, Zahra gak suka,” ia hapal betul minuman kesukaan sepupunya, Ma syaa Allah ternyata Aleeya sangat perhatian dan menyayangi saudaranya.

Perbedaan usia yang cukup jauh antara Aleeya dan Zahra membuatnya selalu kompak, jarang bertengkar. Main slime, mencoba resep baru gemar dilakukan keduanya saat ada waktu bersama. Alhamdulilah.

Aleeya yang sejak usia enam  tahun ditinggal wafat abi seakan menemukan sosok ayah dari adikku yang tak lain adalah Bapak dari Zahra. Kegembiraan selalu terpancar saat ketiganya bercengkrama, menjadi pelipur lara.

“Ummi kapan kita ke makam Abi? Apakah karena Corona jadi kita belum ke makam?” biasanya rasa rindu pada abi cukup terobati dengan ziarah ke makam. Namun karena pandemi dan meghindari kumpulan masa, aku memilih untuk menunggu waktu yang tepat.


Anak yang Peka

Aleeya gadis kecilku, layaknya kebanyakan perempuan sangat perasa dan mampu menganalisa situasi dan kondisi.

“Ummi sedang sedih ya? koq dari tadi cemberut terus?” selidiknya sambil menatap lekat wajahku.

Di lain waktu ia bertanya, “Ummi capek ya? Sini Aleeya bantu cuci piringnya ya Mi,” hal tersebut membuatku bahagia.

Pernah juga satu waktu ia berkata,’“Aleeya mah gak mau punya anak banyak, maunya dua saja supaya gak repot seperti Ummi.”

Aleeya anak wanita sehingga lebih peka dan perasa sering melontarkan pernyataan ataupun pertanyaan yang makin menyadarkanku, bahwa semakin besar anak, semakin mudah untuk diajak berdiskusi. Anak bisa menjadi teman.

Bukan hanya memiliki perasaan peka, Aleeya juga hobi beres-beres rumah. Tak perlu menunggu komando jika melihat sekitarnya berantakan, Aleeya segera turun tangan membersihkan.

“Ummi itu kalau cuci piring gak rapi, semua barang ditaruh sembarangan,” protesnya.

“Coba lihat Mi, Aleeya sudah susun piringnya. Yang kecil disimpan di depan. Piring-piring besar Aleeya susun di belakangnya,” ia menujuk barisan piring yang berjejer rapi.

“Aleeya gak bisa tidur Mi kalau masih berantakan. Aleeya mau beres-beres dulu ya.”

Ma syaa Allah Aleeya sayang, ternyata apa yang diinginkan Abi dan Ummi ada pada anak perempuannya dikabulkan oleh Allah swt .Alhamdulillah, seperti mimpi rasanya melihat Aleeya saat ini sangat jauh berbeda dengan kebiasaan masa kecilnya.

Aleeya menjelma menjadi gadis remaja yang manis, penuh dengan rasa ingin tahu akan aneka olahan makanan juga gemar membereskan rumah, mengembalikan semua barang pada posisinya.

Seandainya Abi masih ada pasti beliau akan bahagia melihat putrinya yang jago nangis saat ini menjadi sosok yang cekatan dan penuh rasa kasih sayang. Alhamdulillah.










4 comments:

  1. Cerita tentang Aleeya mengingatkanku akan anakku yg pertama. Percis soalnya, gak bisa ditinggalin, nempel mulu. Hehe

    ReplyDelete
  2. Masyaallah Ummi... Senang ya punya Kak Aleeya yg peka anaknya. Bisa jd teman curhat tuh ntar lg hehe. Btw tosss dulu ahh ibu 4 anak, dosen dan juga bloger hehe

    ReplyDelete
  3. Sama donk Sama anak Sulungku, perempuam, paling manja, tapi terkadang Aku yg agak emosian menanggapainya. Padahal mereka mau Di kasih perhatian terus ya...

    ReplyDelete
  4. Ya ampun aku bacanga mrebes mili Ummi. Dibalik kelekatannya dgn Ummi tyt Aleeya sosok yang perhatian ya Ummi. Sepertinya Aleeya pun senang diberi perhatian yang sama.

    ReplyDelete