Mencari Arti Bahagia

“Rasanya, persoalan dalam hidupku tidak pernah ada habisnya,” salah satu temanku memulai sesi curhat di siang nan terik itu.

“Sewaktu aku masih gadis, masalah yang kuhadapi adalah kapan aku bakal ketemu jodoh, menikah dan bisa punya anak seperti teman-temanku,’’. Ia berkata sambil merapikan letak kerudungnya yang nampak tidak simetris.

“Sekarang setelah punya anak, ternyata masalahku makin banyak. Mikirin pengasuh, stress membagi waktu, belum lagi berhadapan dengan suami yang tidak seromantis yang kubayangkan.’’

Begitulah hidup. Aku pun merasakan  hal yang sama. Bayangan kehidupan ternyata tak seindah dalam angan. Rasanya baru saja satu masalah selesai, sudah dihadapkan pada masalah baru. Lelah rasanya.

“Jadi kangen indahnya masa anak-anak ya. Kita bisa tertawa lepas, bermain bebas, tanpa beban, tanpa memikirkan banyak hal-hal yang berat-berat. Lihatlah anak-anak itu, betapa bahagianya mereka.” Tangannya menunjuk pada segerombolan anak sekolah yang lewat di depan kami.

Lantas kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meresapi keruwetan hidup yang makin lama makin terasa menyesakkan dada.

Apa yang Salah?

Apa yang salah dalam diriku? Mengapa kebahagiaan itu tak jua hadir menyapaku? Masalah datang bertubi-tubi membuat aku menjadi sosok baru. Pribadi yang tak sabaran dan penuh amarah. Bisa jadi penyebabnya adalah rasa kekecewaan yang menumpuk. Marah seakan menjadi jalanku mengekspresikan kekesalan.

Yang paling menyedihkan, saat diri ini tidak bisa mengendalikan emosi. Anak-anak kerap menjadi korban kekesalanku. Ah jika ingat hal itu, sedih rasanya. Anak-anak tak berdosa sering keheranan melihat moody swing ibunya. “Ummi, kenapa marah-marah? Aku kan gak minta dilahirkan sama Ummi,” kalimat polos keluar dari bibir mungil itu menghentakkanku.

“Tidaklah seseorang dikatakan beriman sebelum ia diuji,’’ kalimat yang disampaikan salah satu kerabatku terngiang di telingaku. Selama ini aku sering mendengar kutipan ayat itu, tapi baru sekarang aku merasakan maknanya hingga menghujam ke dalam sanubari.

“Layaknya seorang anak sedang sekolah, ia akan diuji untuk bisa naik kelas. Begitu juga kehidupan ini, menyajikan ujian dalam bentuk sedih dan senang untuk meningkatkan kadar keimanan.”

“Kelapangan hidup jangan membuat ujub, kesedihan jangan membuatmu merasa terpuruk.”

Nasehatnya panjang lebar padaku yang tengah galau menghadapi aneka uji dalam kehidupanku.

Universitas kehidupan memberikanku banyak tempaan. Inilah waktu yang tepat untuk membumikan ayat-ayat Allah Swt yang selama ini sebatas”tahu” menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan.

Hidup sebenarnya, kurasa saat diri ini keluar dari zona nyaman saat bersama ayah dan ibu untuk memulai kehidupan baru bersama suamiku. Hidup yang sebenarnya bermula saat aku berumahtangga. Di mana aku mulai diuji keyakinan akan semua yang terjadi sebagai takdir terbaik dalam hidupku.

Bahagia itu Sederhana

Semakin bertambah usia, semakin kumengerti arti bahagia sejati yang selama ini kucari. Sebelumnya aku mengartikan bahagia dengan keberlimpahan materi, sehingga sering mengalami kesedihan jika ada hal-hal bersifat keduniawian yang belum kumiliki.

Sering semasa hidupnya, almarhum suami mengajakku menyuskuri hal-hal yang sudah kami punya. Entah setan apa yang merasukiku, sehingga lebih sering mengukur kebahagiaan dari hal-hal yang belum kumiliki, kucapai dan kuraih. Hingga bahagiaku semu, bahagia besyarat.

“Mi, mencintai itu tanpa syarat, bahagia itu pun tak besyarat,” ucapnya di satu malam saat kami  berduaan menyusuri keheningan kota Bandung.

Saat itu keempat anak kami menginap di rumah orang tuaku, sehingga baru kali ini kami punya waktu berdua, dengan menikmati malam di luar rumah.

“Hidup denganku mah gampang, ada uang kita bisa makan-makan seperti ini, tak ada uang ya ditahan.”

Sesederhana itu pemikirannya. Tapi tidak denganku yang masih kukuh bahwasanya bahagia itu adalah hidup dalam kondisi semua keinginanku dalam hal materi terpenuhi. Duh, tanpa sadar, ternyata aku cewek matre ya.

Hingga sampailah aku pada titik nadir kehidupan. Suami sakit dan harus berobat di luar kota. Sementara itu, ketiga anak-anakku terserang demam berdarah dalam waktu yang bersamaan. Luluh lantak hatiku. Aku saeakan tak berdaya menghadapi semuanya. Kudatangi mendekat pada Rabb dalam doĆ”. Aku menjerit, memohon agar suami dan anak-anakku lekas sembuh.

Aku mengutuki diri sebagai manusia yang tak tahu diuntung.Tak berterimakasih dan bersyukur atas anugerah Illahi. Segera kutelepon suamiku dan kusampaikan rasa sedih dan gundahku, juga permohonan maaf karena selama ini aku kufur atas anugerah yang telah Allah Swt berikan berupa kehadirannya dan juga anak-anakku. Aku mohon ampun pada Allah  Swt dan meminta semua kembali normal seperti sediakala.

“Ya Rabb sehatkan anak-anak dan suamiku, jangan ambil mereka dari sisiku. Ampuni aku,” dalam tangis panjang penyesalan aku berdoĆ” memohon ampun pada-Nya.

Ternyata benar yang selama apa yang disampaikan berulang oleh suami padaku. Bahagia itu sederhana. dimulai dari rasya syukur atas anugerah yang telah Allah Swt karuniakan pada kita. Dengan senantiasa besyukur, akan Allah tambahkan anugerah-Nya, sehingga bahagia itu senantiasa menjelma.






































0 komentar:

Post a Comment